目覚ました瞬間
あのカサブランカの香り
ここは夢か
いつの夢だろう
目覚ました瞬間
あの囁いたメロディー
愛されたいっていう気持ちは
誰の気持ちなんだろう
翼さえあれば
どこえへも飛べる
世界を見詰める
傷ついた心たちに
優しく微笑む
勇気さえあれば
この腕でこの鳥かごを
一つだけの願い叶うならば
どうかこの心を
自由させてください
鳥かご
Glass
You are the only reason for me
being here
Nothing much
but your smile
However, red thread which led us
is too futile
As we pull it
will all plea we might have
Your face faded away
Nothing much
but my tears
If only I could
break the glass
which separated us away
Nothing much
but our smile
as our little fingers
bitten by children of destiny
Ranting Yang Kering
Pada jam-jam
yang berjalan amat cepat
tak pernah kutahu namanya
gerak bibir samar
hanya desir angin
Namun kini,
saat ia tak lagi tiada
namanya
terdengar begitu terang
tanpa kulihat
gerak bibir siapapun
Dan kini
jam-jam
terasa begitu lamat
Puisi- Puisi Tak Bernama dalam Buku Mungil
aku punya satu buku kecil. besarnya tidak lebih dari 10x8 cm. warna hijau pupus, tebalnya tidak seberapa. pada covernya terdapat ikon Menara Eiffel dan tulisan: "Everything Is Going to Be Alright"
tadinya buku mungil itu tak terpakai, selain untuk coret-coretan tidak penting.
tapi akhirnya, sekarang buku mungil itu punya fungsi yang tak kalah penting dari buku-buku lainnya: media puisi.
mungkin buku ini terlalu kecil untuk dijadikan buku harian. dan mungkin beberapa orang akan berpendapat kalau untuk dijadikan sebagai tempat menulis puisi pun, terlalu kecil. tapi tak apa, menurutku. buku mungil yang cantik ini akan aku jadikan kamar untuk bayi-bayi puisiku.
benar saja, aku merasa sangat nyaman menulis di dalamnya, meskipun ukurannya sangat kecil. dibandingkan dengan binder yang biasa kupakai, buku ini terasa cepat "penuh" dengan puisi-puisi pendek yang kutulis. seperti sihir, buku ini menarikku untuk terus menulis.
hasilnya, di dalam buku mungil ini terdapat beberapa puisi (sebenarnya, jumlahnya tidak bisa dibanggakan. tapi menurutku itu progres baik, mengingat kondisiku yang lama sekali vakum menulis) yang lahir. kebanyakan tanpa judul.
yah, memang aku sering sekali menulis tanpa judul. menurutku, judul akan lahir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya tulisan itu sendiri. aku berpikir, aku akan menambahkan judulnya di saat-saat terakhir. tapi tak jarang juga pada akhirnya puisi-puisi itu tetap tak bernama sampai waktu yang lama.
tapi biar saja. itu akan jadi alasan yang bagus untuk kembali membaca puisi-puisi itu di waktu yang akan datang.
malam ini, aku posting beberapa puisi tanpa nama di blog ini. untuk sementara aku beri tanda "tanpa judul" beserta tanggal penulisannya. aku harap pembaca tidak keliru mengidentifikasikannya sebagai judul.
tapi.... memang. menurutku puisi tak berjudul jauh lebih cantik. membaca mereka, seperti membaca tubuh yang telanjang, tanpa ada embel-embel kepalsuan sana-sini.
-Tanpa Judul-22-8-13
Terkadang manusia
hanya perlu satu ketenangan
cukup satu momen.
Kontemplasi tak butuh keahlian
hanya waktu.
Duduk tenang, menikmati
secangkir kenangan
membuat jarak
dengan diri sendiri
Hei. lihatlah.
Ada banyak keburukan dalam satu tubuh indah!
Jangan dilafalkan, cukup resapi
Pemahaman tak butuh keahlian
hanya diam.
Meski telah putus asa,
Cinta tak butuh keahlian
hanya kehati-hatian.
-Tanpa Judul-20-8-13
Tubuh ini mengandung
ketakutan yang tak diinginkan
yang selalu meminta
untuk disusui
Kepada siapa harus kutitipkan
sebagian darinya
Sementara bayang pun
enggan membicarakannya
Catatan Pinggir
Aku kangen nulis puisi.
Rasanya sudah lama ngga nulis puisi. Memang setidaknya dalam setengah tahun ini aku berhasil "menelurkan"(?) beberapa puisi. Tapi aku merasa tulisanku kurang "bersuara". Rasanya seperti ditulis oleh orang lain. Begitu asing sampai aku tak bisa mengenali mereka. Mungkin karena pengaruh bacaan juga.
Aku punya mimpi, suatu saat nanti aku jadi penulis (puisi) ternama. Agak... konyol, ya?
Aku sangat suka puisi. Saking sukanya, waktu SMA aku selalu menuangkan pikiran dan perasaanku ke dalam puisi. Setiap kali nulis puisi, entahlah, rasanya begitu mengalir. Waktu semester terakhir di kelas 3, aku membuat makalah tentang puisi kontemporer Indonesia sebagai tugas akhir mapel Bahasa Indonesia. Guruku, Bu Lis, bilang kalau baru kali itu ada yang menulis tentang puisi di SMA ini.
Sekarang, aku pun berniat meneliti puisi Kaneko Misuzu sebagai bahasan skripsiku. Meskipun entah kenapa aku dapat semacam "penolakan" dengan alasan puisi itu sulit dan tidak ada dosen kami yang mendalami puisi (semua dosen sastra kami "berspesialisasi" prosa). Awalnya aku tak dapat menerima, karena bagiku puisi dan prosa sama-sama sastra, harusnya tak ada pembedaan perlakuan. Tapi setelah aku belajar mendalami, aku mendapati kalau pemikiranku itu mungkin salah.
Oh ya, balik lagi ke persoalan kesukaan (kalau tak bisa dibilang "kecintaan")-ku pada puisi.
Dulu aku bertanya-tanya, kenapa ya aku suka puisi. Lalu aku berpikir, mungkin karena puisi itu singkat. Aku tak pernah beruntung dengan cerpen, apalagi novel. Rasanya fail banget tiap kali aku menulis prosa, sepertinya jalan pikiranku cenderung menyimpang dari jalur awal di tengah-tengah prosesnya. Akhirnya aku beranggapan kalau otakku memang tidak begitu akur dengan produk tulisan yang panjang. Hahaha...
Tapi sekarang, aku menyadari kalau ternyata bukan cuma itu alasannya.
Bagiku, puisi itu harta karun. Begitu padat, begitu kaya. Kalau mau membahas puisi, rasanya seperti akan membuka gulungan kain sutra atau kashmir yang tak habis-habis dibeber. Atau seperti makan tart buah yang di dalamnya ada berlapis-lapis buah dibalut fresh cream.
Selain itu, bagiku puisi adalah jalan menuju kebebasan.
Menulis puisi, sama seperti pembebasan pikiran.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku sadar, kalau selama ini yang aku cita-citakan adalah kebebasan.
Buatku, seandainya fisikku, tindak-tandukku, tutur kataku, harus terkungkung oleh keadaan dan nilai-nilai tertentu, setidaknya pikiranku harus punya kesempatan untuk berpikir bebas sebagai gantinya.
Aku tak ingin selamanya disetir. Aku ingin suatu saat nanti bisa bebas berpikir, bebas berekspresi.
Dan akhirnya, aku bercita-cita ingin jadi penulis puisi ternama.
Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang mencintai puisi, seperti aku. Aku juga ingin di masa depan nanti semakin banyak orang menghargai dan mencintai puisi.
Pasti senang rasanya menghadapi masa depan yang seperti itu.