aku punya satu buku kecil. besarnya tidak lebih dari 10x8 cm. warna hijau pupus, tebalnya tidak seberapa. pada covernya terdapat ikon Menara Eiffel dan tulisan: "Everything Is Going to Be Alright"
tadinya buku mungil itu tak terpakai, selain untuk coret-coretan tidak penting.
tapi akhirnya, sekarang buku mungil itu punya fungsi yang tak kalah penting dari buku-buku lainnya: media puisi.
mungkin buku ini terlalu kecil untuk dijadikan buku harian. dan mungkin beberapa orang akan berpendapat kalau untuk dijadikan sebagai tempat menulis puisi pun, terlalu kecil. tapi tak apa, menurutku. buku mungil yang cantik ini akan aku jadikan kamar untuk bayi-bayi puisiku.
benar saja, aku merasa sangat nyaman menulis di dalamnya, meskipun ukurannya sangat kecil. dibandingkan dengan binder yang biasa kupakai, buku ini terasa cepat "penuh" dengan puisi-puisi pendek yang kutulis. seperti sihir, buku ini menarikku untuk terus menulis.
hasilnya, di dalam buku mungil ini terdapat beberapa puisi (sebenarnya, jumlahnya tidak bisa dibanggakan. tapi menurutku itu progres baik, mengingat kondisiku yang lama sekali vakum menulis) yang lahir. kebanyakan tanpa judul.
yah, memang aku sering sekali menulis tanpa judul. menurutku, judul akan lahir dengan sendirinya seiring dengan lahirnya tulisan itu sendiri. aku berpikir, aku akan menambahkan judulnya di saat-saat terakhir. tapi tak jarang juga pada akhirnya puisi-puisi itu tetap tak bernama sampai waktu yang lama.
tapi biar saja. itu akan jadi alasan yang bagus untuk kembali membaca puisi-puisi itu di waktu yang akan datang.
malam ini, aku posting beberapa puisi tanpa nama di blog ini. untuk sementara aku beri tanda "tanpa judul" beserta tanggal penulisannya. aku harap pembaca tidak keliru mengidentifikasikannya sebagai judul.
tapi.... memang. menurutku puisi tak berjudul jauh lebih cantik. membaca mereka, seperti membaca tubuh yang telanjang, tanpa ada embel-embel kepalsuan sana-sini.
Puisi- Puisi Tak Bernama dalam Buku Mungil
-Tanpa Judul-22-8-13
Terkadang manusia
hanya perlu satu ketenangan
cukup satu momen.
Kontemplasi tak butuh keahlian
hanya waktu.
Duduk tenang, menikmati
secangkir kenangan
membuat jarak
dengan diri sendiri
Hei. lihatlah.
Ada banyak keburukan dalam satu tubuh indah!
Jangan dilafalkan, cukup resapi
Pemahaman tak butuh keahlian
hanya diam.
Meski telah putus asa,
Cinta tak butuh keahlian
hanya kehati-hatian.
-Tanpa Judul-20-8-13
Tubuh ini mengandung
ketakutan yang tak diinginkan
yang selalu meminta
untuk disusui
Kepada siapa harus kutitipkan
sebagian darinya
Sementara bayang pun
enggan membicarakannya
Catatan Pinggir
Aku kangen nulis puisi.
Rasanya sudah lama ngga nulis puisi. Memang setidaknya dalam setengah tahun ini aku berhasil "menelurkan"(?) beberapa puisi. Tapi aku merasa tulisanku kurang "bersuara". Rasanya seperti ditulis oleh orang lain. Begitu asing sampai aku tak bisa mengenali mereka. Mungkin karena pengaruh bacaan juga.
Aku punya mimpi, suatu saat nanti aku jadi penulis (puisi) ternama. Agak... konyol, ya?
Aku sangat suka puisi. Saking sukanya, waktu SMA aku selalu menuangkan pikiran dan perasaanku ke dalam puisi. Setiap kali nulis puisi, entahlah, rasanya begitu mengalir. Waktu semester terakhir di kelas 3, aku membuat makalah tentang puisi kontemporer Indonesia sebagai tugas akhir mapel Bahasa Indonesia. Guruku, Bu Lis, bilang kalau baru kali itu ada yang menulis tentang puisi di SMA ini.
Sekarang, aku pun berniat meneliti puisi Kaneko Misuzu sebagai bahasan skripsiku. Meskipun entah kenapa aku dapat semacam "penolakan" dengan alasan puisi itu sulit dan tidak ada dosen kami yang mendalami puisi (semua dosen sastra kami "berspesialisasi" prosa). Awalnya aku tak dapat menerima, karena bagiku puisi dan prosa sama-sama sastra, harusnya tak ada pembedaan perlakuan. Tapi setelah aku belajar mendalami, aku mendapati kalau pemikiranku itu mungkin salah.
Oh ya, balik lagi ke persoalan kesukaan (kalau tak bisa dibilang "kecintaan")-ku pada puisi.
Dulu aku bertanya-tanya, kenapa ya aku suka puisi. Lalu aku berpikir, mungkin karena puisi itu singkat. Aku tak pernah beruntung dengan cerpen, apalagi novel. Rasanya fail banget tiap kali aku menulis prosa, sepertinya jalan pikiranku cenderung menyimpang dari jalur awal di tengah-tengah prosesnya. Akhirnya aku beranggapan kalau otakku memang tidak begitu akur dengan produk tulisan yang panjang. Hahaha...
Tapi sekarang, aku menyadari kalau ternyata bukan cuma itu alasannya.
Bagiku, puisi itu harta karun. Begitu padat, begitu kaya. Kalau mau membahas puisi, rasanya seperti akan membuka gulungan kain sutra atau kashmir yang tak habis-habis dibeber. Atau seperti makan tart buah yang di dalamnya ada berlapis-lapis buah dibalut fresh cream.
Selain itu, bagiku puisi adalah jalan menuju kebebasan.
Menulis puisi, sama seperti pembebasan pikiran.
Seiring berjalannya waktu, akhirnya aku sadar, kalau selama ini yang aku cita-citakan adalah kebebasan.
Buatku, seandainya fisikku, tindak-tandukku, tutur kataku, harus terkungkung oleh keadaan dan nilai-nilai tertentu, setidaknya pikiranku harus punya kesempatan untuk berpikir bebas sebagai gantinya.
Aku tak ingin selamanya disetir. Aku ingin suatu saat nanti bisa bebas berpikir, bebas berekspresi.
Dan akhirnya, aku bercita-cita ingin jadi penulis puisi ternama.
Aku ingin bertemu dengan orang-orang yang mencintai puisi, seperti aku. Aku juga ingin di masa depan nanti semakin banyak orang menghargai dan mencintai puisi.
Pasti senang rasanya menghadapi masa depan yang seperti itu.
Apa Adanya
Orang-orang menganggap kita aneh.
lalu kita berpikir, "mereka tahu apa"
sementara tetap, orang normal berpikir
kita terlalu naif memaknai dunia
terlalu jauh mengawang dalam utopia
Pada subuh yang tak pernah kujumpai
aku rindu menulis puisi
Lalu kutulis apa adanya.
Apa adanya.
冬桜
Jatuh Cinta
Aku bisa terbang
sebebas burung
Karena aku tertambat padamu
Terima kasih telah menyediakan sarang
yang tenang untukku
Lelaki Pecinta Kematian
Selama ini
tak pernah kusadari
kau begitu dekat denganku
dan sungguh celaka:
aku jatuh hati padamu
Aku hanya bisa menatap
punggung yang menawarkan kehangatan
di balik jubah hitammu
tapi aku tak dapat menyentuhmu
dengan tangan kotor ini
Kusentuh udara yang kausentuh
Kucium aroma lili yang tipis
dan sangat mudahnya
aku tergelincir ke dalam angan yang hampa
Kudengar bisik halusmu
ingin kujilat hangatnya
berubah menjadi orang yang paling jahat
Ya, aku ingin kau berkhianat padanya
dan aku akan memenjarakanmu
di sudut kastil yang gelap
O, jangan takut!
Sebab wajah pucatmu akan bersinar dalam kegelapan
Aku ingin membunuhmu, wahai Lelaki Pecinta Kematian
Mendung
Aku suka mendung
Saat langit menggelap
menutup tabir bagi sinar gemerlap
Aku suka mendung
Sebab semua terjamah oleh mata
Pucuk pohon, cabang-cabangnya yang tinggi
Puncak gedung-gedung
nun jauh di atas sana
Tubuh mereka yang menjulang tinggi
memecah semburat cahaya
Gedung putih dan kelabu
berpendar tersipu
redup namun gemerlap
cahaya yang selama ini
tertutup cahaya mentari
Angin berhembus
menyibak dedaunan
pada dahan pepohonan
membuka ruang
bagi semburat cahaya mentari
Dunia monokrom ini
memantulkan warna-warni
yang hangat di hati