Hari
ini kuhadapi juga
rasa
takut akan ketiadaan
dan
perih akan acuh
Berharap
kini masih sepuluh tahun yang lalu
Kenangan
akan boneka, kue-kue manis
dan
tarian dalam ombak angin
Menoleh
ke belakang, mengingat masa lalu
Berat
berpijak pada kekinian
tersipu
menatap masa depan
Tapi
mesti kuhadapi juga
Mengikuti
alunan angin
tertunduk.
Ikuti aliran takdir
pada
jalan di muka
Bersama
air mata aku menoleh masa lalu
dan
berjalan. Terus berjalan
hingga
titik pemberhentian
11 April 2009
Kebetulan, tahun itu aku sedang patah hati karena putus dengan mantanku, Hanif. Pikiranku kacau, dan aku ngga sanggup menahan sedih. Ada juga rasa putus asa, sampai berpikir untuk mengakhiri hidupku sendiri. Untung hal itu ngga terjadi. Biar bagaimana pun juga, aku harus tetap move on bukan?
Jujur aku akui, sulit sekali rasanya untuk bangkit. Perasaanku padanya masih kuat saat itu. Tapi, aku harus tetap bertahan, tidak boleh larut dalam kesedihan. Makanya, waktu ulang tahunku yang ke-18 itu, aku menulis puisi ini untuk menyemangati diriku sendiri, sekaligus mengingatkan diriku kalau perjalananku masih panjang.
Bisa dibilang, puisi ini semacam "surat untuk masa depan". Ketika aku menulis ini, aku berharap bahwa aku di masa depan bisa terus bangkit kapanpun aku jatuh.
Meskipun puisi ini berbicara tentang diriku, pembaca juga boleh mengambil hikmah dari puisi ini. Pesan puisi ini tidak hanya berlaku untuk diriku saja, tapi juga untuk semua yang sedang merasakan jatuh. Harapanku, mereka yang membaca puisi ini bisa merasakan semangat untuk bangkit kembali.
Perjalanan hidup takkan pernah mudah. Namun Tuhan tahu apa yang terbaik bagi kita. Jangan terlalu cepat menyerah, karena kita tak pernah tahu seberapa dekat kita dengan kesuksesan kita.
Mari kita sama-sama menjadi kuat! :)
0 komentar:
Posting Komentar
sebuah karya tanpa pembaca adalah tak lengkap. silakan beri komentar, kritik, dan saran untuk karya ini ♥